Apa Puasa itu dan Macam-Macam Puasa
Apa Puasa itu dan Macam-Macam Puasa
Kata puasa atau shaum berasal dari bahasa Arab “Shama-yashumu-shiyaman atau shauman” yang artinya menahan. Jadi, secara bahasa, shaum berarti 'menahan' atau al-imsak.
Sedangkan menurut istilah syariatnya, shaum atau puasa berarti menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri dan hal-hal lain yang membatalkannya sejak subuh hingga terbenam matahari dengan niat ibadah karena Allah Swt.
Tentang puasa ini, para ulama sering memberikan penjelasan dengan kalimat yang berbeda, tetapi inti maknanya adalah sama. Shaum atau shiyam dapa berarti menahan dari segala sesuatu, seperti menahan tidur,menahan berbicara, menahan makan dan sebagainya. Imam al-Ghazali memaknai puasa dengan imsyak yang berarti "tahan atau menahan dari.
pengertian Puasa menurut Yusuf al Oardhawi dalam Figh Puasa adalah menahan dan mencegah diri dari hal hal yang mubah (boleh), seperti mencegah diri dari makan dan minum dan hubungan suami istri dalam rangka mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah.
B. MACAM-MACAM PUASAT
Tidak semua puasa bersifat wajib. Sebagaimana hukum ibadah lainnya, ada yang wajib, sunnah, makruh, dan bahkan haram.
1. Puasa Ramadhan
Puasa ini dilakukan di bulan Ramadhan dan menjadi rukun Islam ketiga setelah syahadat dan shalat. Setiap Muslim diwajibkan menjalankan ibadah Puasa Ramadhan. Dengan demikian, meninggalkannya berarti meninggalkan salah satu kewajiban ibadah, sekaligus mengurangi rukun Islam.
2.Puasa Qadha
Puasa gadha adalah puasa pengganti. Hukumnya Wajib bagi orang yang sakit atau bepergian di bulan Ramadhan. Waktu untuk melaksanakan Puasa Qadha adalah sejak selesai puasa Ramadhan pada tahun itu, atau setelah kembali dari bepergian, atau setelah sembuh dari sakit setelah bulan Ramadhan tahun itu.
Menurut pendapat yang kuat, boleh mengakhirkan pelaksanaan qadha jika untuk melakukannya di bulan-bulan awal tidak memungkinkan atau masih terasa memberatkan baginya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa seseorang yang mampu untuk mengqadhanya pada tahun itu juga, tetapi mengakhirkannya dengan niat untuk mengqadhanya sebelum Ramadhan kedua agar dapat bersambung antara pelaksanaan qadha yang telah lalu dengan Ramadhan yang akan datang, tetapi kemudian dia ada uzur syara' yang menghalanginya sampai masuk Ramadhan lagi, maka dia hanya diharuskan untuk mengqadha saja dan tidak membayar kafarat.
Sebagian ulama menganjurkan agar puasa qadha ditunaikan segera, dan dilaksanakan secara berturut-turut. Bersegeranya menunaikan qadha amat disukai agar selekas mungkin terbebas dari kewajiban dan demi menghindari khilaf. Sebab, manusia tidak tahu apakah bulan-bulan berikutnya akan semakin sehat atau justru kondisi kesehatannya semakin memburuk dan menjadikannya tidak kuat berpuasa lagi.
Bahkan sebagian fuqaha ada yang mewajibkan puasa qadha secara berturut-turut. Ini adalah bentuk penyesalan karena telah meninggalkan sebagian hari di bulan Ramahdan dan dengan kekhawatiran banwa akan ada hari yang membuatnya tidak mungkin berpuasa.
3.Puasa Kafarat
Puasa kafarat hukumnya wajib dan mempunyai beberapa bentuk, yaitu puasa kafarat karena salah membunuh, puasa kafarat karena sumpah dan nazar. Dalam hal ini kita hanya membahas puasa kafarat karena batalnya puasa yang disebabkan perbuatan hubungan suami istri pada siang hari bulan Ramadhan.
Menurut jumhur ulama, yang mewajibkan qadha dan kafarat atas orang yang berpuasa hanyalah bersetubuh, selain dari itu tidak wajib mengqadha dan membayar kafarat.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw, lalu berkata, “Celaka saya, ya Rasulullah.” “Apa yang mencelakakan mu?" tanya Rasulullah. Ia menjawab “Saya telah menyetubuhi istri saya di siang hari bulan Ramadhan. ” Maka sabda beliau,“Adakah engkau mampu memerdekakan seorang budak?” Ia menjawab, “Tidak!” Beliau bersabda, “Kuatkah engkau berpuasa dua bulan berturut-turut?” Jawabnya, “Tidak kuat.” Sabda beliau, “Mampukah engkau memberi makan enam puluh orang miskin.” Ia menjawab, “Tak mampu.” Kemudian ia duduk, lantas ada orang yang membawakan kepada Nabi Saw satu wadah berisi kurma. Maka sabda beliau, “Sedekahkanlah ini.” Maka ia berkata, “Apakah kepada orang yang lebih miskin daripada kami?
Karena tidak ada di antara dua batu hitamnya penduduk rumah yang lebih perlu daripada kami.” Lalu Nabi Saw tertawa hingga kelihatan gigi taringnya, kemudian beliau bersabda, “Pergilah dan berikanlah kurma ini kepada keluargamu!" (H.r. Bukhari dan Muslim).
Dalam perbuatan ini, sebagian ulama berpendapat bahwa baik suami maupun istri sama dalam hal wajibnya membayar kafarat selama keduanya sama-sama sengaja dan sadar melakukannya.
Tetapi para ulama dari mazhab Syafi'i berpendapat , bahwa istri tidak wajib membayar kafarat, baik ketika bersetubuh yang dilakukan dengan kesadaran, maupun terpaksa. Istri hanya wajib mengqadha di hari yang lain saja.
Imam Nawawi memperkuat pendapat mazhab Syafii dengan menukil riwayat Imam Ahmad. Uraian Imam Nawawi sebagaimana kewajiban mahar dari suami kepada istrinya, maka demikian juga kafarat, bahwa istri tidak ada kewajiban membayar kafarat.
Abu Dawud berkata, “Imam Ahmad pernah ditanya tentang orang yang menyetubuhi istrinya di siang hari bulan Ramadhan, wajibkah ia membayar kafarat?" Jawabnya, “Saya belum pernah mendengar bahwa perempuan tersebut wajib membayar kafarat.”
Imam Ahmad mengemukakan alasan bahwa Nabi Saw hanya menyuruh laki-laki yang bersetubuh di siang hari Ramadhan untuk membayar kafarat, yaitu memerdekakan seorang hamba (budak) dan tertib kafarat berikutnya, Karenanya, kafarat hanya dibayar oleh pihak laki-laki saja. Laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, maka ia yang paling bertanggung jawab dengannya.
4. Puasa Nazar
Puasa nazar hukumnya wajib, disebabkan karena kemauannya sendiri atau janji kepada Allah untuk melakukannya.
Puasa Nazar dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt.
5. Puasa-puasa Sunnah
Puasa sunnah ialah puasa yang dianjurkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya dengan tujuan mendekatkan diri kepadaNya. Ibadah ini sangat baik untuk dilaksanakan, tetapi tidak berakibat dosa jika seseorang meninggalkannya.
a. Puasa hari Arafah, tanggal 9 Dzulhijjah.
Puasa di hari Arafah tanggal 9 bulan Dzulhijjah disunnahkan kepada seluruh kaum Muslimin, kecuali orang yang sedang menunaikan ibadah haji (Jama'ah haji).
Dari Abu Qatadah, Nabi Muhammad Saw telah bersabda, “Puasa hari Arafah itu menghapuskan dosa dua tahun, satu tahun yang telah lalu dan satu tahun yang akan datang." (H.r. Muslim).
Dalam hadis lain Rasulullah Saw bersabda, dari Abu Hurairah katanya, “Telah melarang Rasulullah Saw: berpuasa pada hari Arafah di Padang Arafah.” (H.r. Ahmad dan Ibnu Majah).
b. Puasa hari Tasu'a dan Asyura
Puasa hari Tasu'a jatuh pada tanggal 9 Muharam, sedangkan puasa hari Asyura disunnahkan pelaksanaannya pada tanggal 10 Muharram.
Dari Abu Gatadah, Rasulullah Saw telah bersabda, “Puasa hari Asyura itu menghapuskan dosa satu tahun yang telah lalu.” (H.r. Muslim).
Puasa sunnah hari Tasu'a ini diperintahkan oleh Nabi Saw untuk memantapkan akidah umatnya dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
c. Puasa bulan Syawal
Umat Islam disunnahkan menunaikan puasa di bulan Syawal sebanyak 6 hari. Puasa sunnah di bulan Syawal ini diisyaratkan dalam sabda Nabi Saw, bahwa orang yang melaksanakannya seperti melaksanakan puasa sepanjang masa.
Dari Abu Ayyub, Rasulullah Saw telah bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian ia puasa pula enam hari pada bulan Syawal, maka seperti puasa sepanjang masa.” (H.r. Muslim).
Waktu pelaksanaan puasa sunnah ini adalah pada hari kedua setelah Idul Fitri hingga selesai dalam 6 hari. Cara terbaik adalah dilakukan berturut-turut, tetapi bila tidak mungkin atau tidak mampu boleh melaksanakannya dengan memilih hari yang paling memudahkan.
d. Puasa sunnah tengah bulan
Puasa sunnah tengah bulan dilaksanakan setiap tanggal 13, 14, 15 bulan qamariah (bulan Hijriyah).
Dari Abu Dzar r.a. Rasulullah Saw telah bersabda, “Hai Abu Dzar, apabila engkau hendak puasa hanya tiga hari dalam satu bulan hendaklah engkau puasa tanggal 13, 14 dan 15.” (H.r. Ahmad dan Nasa'i).
Puasa ini sangat baik sebagai kontrol mental umat Islam, agar tidak terjerumus pada arus kehidupan yang melenakan. Selainitu, hikmah puasa ini juga memberi terapi kesehatan agar umat Islam sehat dan lebih produktif.
e. Puasa bulan Sya'ban
Disunnahkan kepada umat Islam menunaikan puasa di bulan Sya'ban. Rasulullah Saw melakukannya dan tentu saja kita sebagai umatnya akan terus berupaya untuk mengikutinya.
Aisyah berkata,
“Saya tidak melihat Rasulullah Saw menyempurnakan puasa satu bulan cukup selain dari bulan Ramadhan, dan saya tidak melihat beliau pada bulan-bulan yang lain berpuasa lebih banyak dari bulan Sya'ban.” (H.r. Bukhari dan Muslim).
f. Puasa hari Senin dan Kami
Puasa pada setiap hari Senin dan Kamis hukumnya sunnah dan mengandung banyak kebaikan.
Dari Aisyah, “Nabi Muhammad Saw memilih waktu puasa hari Senin dan hari Kamis.” (H.r. Muslim).
g. Puasa Dawud
Puasa ini selalu dilakukan oleh Nabi Dawud a.s. Rasulullah Saw dalam sabdanya pernah mengisyaratkan tentang puasa Nabi Dawud, sehingga kita yang mengikutinya akan mendapat kebaikan sebagai amalan sunnah.
Cara pelaksanaannya adalah dilakukan selang-seling atau sehari puasa sehari tidak. Pelaksanaan puasa Dawud ini hendaklah dilakukan pada hari-hari yang dibolehkan puasa padanya. Tidak boleh melakukannya pada hari yang dilarang, seperti dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) juga tiga hari dari hari Tasyrik.
6. Puasa yang Makruh
Ada puasa yang tidak berdosa jika dilakukan, tetapi sebaiknya ditinggalkan. Puasa yang makruh dilakukan misalnya puasa Dahr, yaitu puasa yang dilakukan oleh seseorang terus menerus sepanjang tahun. Rasulullah Saw mengingatkan,
“Tidak dipandang puasa orang yang berpuasa selamau lamanya." (H.r. Bukhari dan Muslim).
7. Puasa yang Diharamkan
Banyak orang melakukan amalan puasa, padahal amalan itu justru hukumnya terlarang . Amal ini menjadi terlarang karena dua hal. Pertama, puasa dilakukan bukan karena Allah, tetapi ditujukan kepada hal-hal yang menjurus kepada kemusyrikan. Biasanya tujuan dilakukannya puasa ini adalah untuk mendatangkan maksud tertentu yang bersifat gaib, misalnya mendatangkan kesaktian, memanggil pusaka, mempertajam kekuatan ramalan, dan sebagainya yang bersifat klenik. Contoh puasa jenis ini adalah puasa pati geni.
Kedua, puasa yang dilakukan dengan maksud mengharap ridha Allah tetapi syariatnya dilakukan dengan mengada-ada. Amalan ini termasuk bid'ah, atau puasa yang diada-adakan tanpa ada dasar perintah atau contoh dari Rasulullah Saw. Contoh puasa bid'ah adalah puasa khusus tanggal 12 Rabi'ul Awal, puasa khusus tanggal 27 Rajab, dan sebagainya.
Tidak ada komentar untuk "Apa Puasa itu dan Macam-Macam Puasa"
Posting Komentar